Cerita Pendek Ahmadun Y Herfanda
Setiap melihat kepompong di daun palem di teras rumahku aku selalu ingat
kata-kata
kekasihku: kita, kau dan aku, adalah kepompong, yang menunggu waktu
untuk lepas dari bungkusnya dan terbang menjadi kupu-kupu, belalang,
atau mungkin burung jiwa.
"Aku lebih suka kupu-kupu. Dengan sayap-sayap bercahaya kita akan terbang ke langit," ujar kekasihku, penuh imajinasi..
Tetapi,
aku merasa terlalu lama jiwaku tidur di dalam kepompong itu, entah
berapa abad. Namun, kekasihku yakin, makin lama kita bersemayam di
dalamnya, akan makin matanglah jiwa kita, dan makin perkasa pula raga
kita. "Kalau kau jadi kupu-kupu, kau akan jadi kupu-kupu yang kuat.
Kalau kau jadi belalang, akan jadi belalang yang perkasa," katanya.
Tapi,
bagaimana kalau kita tidak menjadi apa-apa, atau bahkan mati di dalam
kepompong itu, karena tidak punya kekuatan lagi untuk melepaskan diri
dari kungkungan derita. "Ah tidak. Kita sedang berproses," katanya.
"Kita harus jalani proses itu untuk menjadi."
Untuk menjadi? Menjadi
apa? Aku tidak tahu jawabannya, sebab aku tidak punya cita-cita. Aku
ingin hidup mengalir saja bagai air, berembus bagai angin, menyebar
bagai pasir, meresap bagai garam, menyusup bagai rumput-rumput jiwa.
Tetapi,
seperti kata kekasihku, aku jalani juga hidupku sebagai proses proses
untuk menjadi. Aku jalani hari-hari manis, juga hari-hari pahit, bersama
orang-orang yang bersentuhan denganku, bersama jiwa-jiwa yang bersedia
berbagi. Kuliah, pacaran, bekerja, membangun karier, bertahun-tahun,
berabad-abad, sampai serasa lumutan.
Tapi, aku sungguh tidak tahan
menghadapi tahapan membujang terlalu lama takut menjadi bujang lapuk.
Maka, aku pun menikah begitu menemukan gadis yang aku sukai dan bersedia
berbagi meskipun lebih banyak berbagi duka sebelum kuntuntaskan cintaku
padanya. Sementara, kekasihku begitu tahan menjalani tahapan itu,
membujang begitu lama, setidaknya sampai kami bertemu lagi di Jakarta.
"Aku
ingin kukuh dalam cinta, cinta pertama," katanya. Aku terkejut
sekaligus terpana. "Bukankah kita masih dalam kepompong cinta yang sama?
Sayap-sayap kita sedang tumbuh untuk bisa terbang sebagai kupu-kupu,
bersama," tambahnya. Imajinatif sekali. Melebihi imajinasi seorang
pujangga.
"Tapi aku sudah menikah dan punya anak. Aku bukan lagi yang
dulu," kataku. "Masuklah kembali engkau ke dalam kepompongku untuk
bercinta seperti dulu," katanya.
"Tapi, bagaimana dengan kepompongku?"
"Buang saja. Tidak ada gunanya. Ia telah pecah oleh perkawinanmu yang tanpa cinta itu."
"Apa? Tanpa cinta? Ah... kau keliru. Aku mencintai istriku."
"Bagaimana
engkau bisa berkata begitu jika cintamu tertinggal di sini, di dalam
kepompongku. Tiap saat aku dapat merasakan denyutnya."
Aku ingin
membantah kata-katanya, bahwa aku benar-benar mencintai istriku,
meskipun pada saat yang sama juga mencintai kekasihku. Bukankah lelaki
biasa membagi cinta, sebab kodrat lelaki memang poligamis? Karena itu,
meskipun aku telah memberikan cinta pada istriku, masih bisa juga aku
mencintainya. "Aku masih mencintaimu. Aku masih berhasrat menyatukan
jiwa dalam kepompong cintamu," kataku akhirnya.
Sejujurnya, aku
memang tidak dapat membohongi hati kecilku bahwa aku menikah bukan
semata-mata karena cinta. Tapi, lebih karena tanggung jawab dan
kewajiban. Aku memang mencintai istriku, tapi hanya dengan setengah
hatiku. Sebab, seperti kata kekasihku, separuh cintaku masih tertinggal
dan berdenyut di dalam kepompongnya.
Dan, begitulah. Hari-hari kulalui dalam percintaan ganda. Di rumah aku
bercinta
dengan istriku, berkasih sayang dengan anak-anakku, dan membangun
kehidupan sakinah dengan mereka. Pada hari-hari tertentu aku mengimami
shalat mereka, dan menemani mereka membaca Alquran dalam kasih sayang
Yang Maha Kuasa. Tetapi, di luar rumah aku selalu rindu untuk memasuki
kepompong cinta kekasihku, memenuhi yang belum terpenuhi, mencintai yang
belum tercintai.
Kadang-kadang, bosan bermain kata-kata dalam
imajinasi-imajinasi indah itu ini yang selalu aku lakukan sambil menatap
wajahnya yang ayu dan senyumnya yang bagai irisan salju kami
menciptakan kepompong dari selimut tebal di suatu tempat yang sejuk dan
sepi.
"Saatnya kita masuk ke dalam kepompong yang sebenarnya," katanya tiap kali kami merentangkan selimut tebal seperti biasa.
Dan,
kami pun berada di dalam selimut yang menutup sejak ujung kaki sampai
ujung rambut kami. Seperti dulu, ketika kami masih sama-sama di Yogya,
aku kembali merasakan hangat tubuhnya, degup jantungnya, lembut
nafasnya, dan harum rambutnya.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanyanya.
"Kita tidur seperti bayi kupu-kupu sampai sayap-sayap kita tumbuh dengan perkasa untuk terbang ke langit bersama," kataku.
"Apakah kau masih tidak ingin menikmati keperawananku."
"Siapa
tidak ingin menikmati keperawanan gadis secantik kau? Tapi, tidak. Aku
tidak ingin merampas hak suamimu. Siapapun dia, kelak. Aku lebih suka
menjaga kemurnian cinta kita, tanpa seks!"
"Kau memang lelaki yang luar biasa."
"Luar biasa bodohnya, maksudmu?"
"Ha ha ha…!"
Kekasihku
tertawa di dalam selimut, cukup keras, hingga kepompong cinta kami
serasa bergetar mau pecah. Tentu, menertawai kebodohanku. Tetapi,
anehnya, sepuluh tahun lebih, dia tetap sabar mempertahankan cintanya
pada lelaki bodoh seperti aku. Bukankah itu berarti dia, kekasihku, juga
bodoh sepertiku? Ya, mau-maunya dia terus mencintai lelaki yang tidak
mungkin lagi mengawininya, karena sudah beristri dan beranak. Apakah
cinta memang misteri yang sulit dipahami, yang sulit ditolak
kehadirannya dan sulit diusir pergi? Atau, kami memang orang-orang aneh
yang ingin terus bercinta sebatas keindahan imajinasi?
Sebagai wanita
karier yang cukup jelita bukannya tidak pernah ada lelaki lain yang
menginginkan kekasihku. Banyak. Banyak sekali. Beberapa kali aku pun
perah memergoki dia berjalan dengan seorang lelaki di suatu mal atau
lobi bioskop. Tetapi, lagi-lagi, tiap kali kupergoki begitu, tidak lama
kemudian dia langsung meneleponku bahwa lelaki itu hanya kawan biasa.
Suatu
hari pernah pula aku melihat kekasihku dikejar-kejar oleh seorang
manajer tempatnya bekerja. Aku dengar lelaki itu sangat tertarik
padanya. Kekasihku didekati dengan sedannya yang mulus, dibukakan pintu
dan dipersilakan masuk. Tetapi, dengan halus kekasihku menolaknya. Dan,
ketika kutanya mengapa, kekasihku hanya menjawab, "Aku masih suka tidur
sebagai bayi kupu-kupu di dalam kepompong cinta kita."
Kadang-kadang
aku merasa khawatir juga, jangan-jangan kekasihku benar-benar menunggu
lamaranku untuk kunikahi. Sebab, suatu hari ia pernah mengatakan, "aku
sering merasa diciptakan hanya untukmu." Dan, bukannya aku tidak berani
melamar dan menikahinya, atau bermaksud sengaja mempermainkannya. Sama
sekali tidak! Tetapi, lebih karena aku sudah memiliki anak dan istri,
dan sejujurnya belum punya nyali untuk berpoligami. Kadang-kadang, aku
ingin nekat saja menikahinya sebagai istri kedua. Tetapi, tiap aku
menatap wajah istri dan anak-anakku yang polos-polos yang tidak berdosa,
yang saat tidur seperti menyerahkan seluruh nasibnya padaku, aku
menjadi tidak sampai hati melakukannya. Aku tidak tega membayangkan
keluargaku, yang aku bina sepuluh tahun lebih, tiba-tiba tercerai berai
karena pernikahan keduaku.
Tetapi, bagaimana kalau kekasihku memang
benar-benar menungguku, dan terus menungguku bertahun-tahun lagi,
berpuluh-puluh tahun lagi, berabad-abad lagi, sampai hilang seluruh
kecantikannya secara sia-sia? Bukankah itu artinya aku
menyia-nyiakannya? Bukankah itu artinya aku juga berdosa?
Berhari-hari lagi, berbulan-bulan lagi, bertahun-tahun lagi, seperti
keyakinan kekasihku, kami terus berproses untuk menjadi. Entah menjadi
apa. Berkali-kali kami mencoba tidur bersama lagi, bagai dua bayi
kupu-kupu, di dalam satu kepompong cinta. Tetapi, belum juga tumbuh
sayap-sayap perkasa di tubuh kami untuk terbang ke langit bersama-sama.
Aku
makin suntuk dengan anak-anakku, memikirkan sekolah dan masa depan
mereka. Aku juga makin sibuk dengan lemburan dan pekerjaan-pekerjaan
sambilanku untuk menutup defisit biaya hidup di Jakarta yang semakin
mahal saja. Sementara, kekasihku juga makin suntuk dengan kariernya yang
terus menanjak, dan kini menduduki posisi sebagai seorang manajer.
Kudengar bahkan dia sedang diproyeksikan untuk menduduki salah satu
jabatan di jajaran direksi. "Syukurlah," pikirku.
Makin hari kamipun
makin jarang bertemu, karena kesibukan masing-masing. Bukannnya kami
sudah tidak rindu lagi untuk tidur bersama sebagai bayi kupu-kupu di
dalam kepompong cinta. Tapi, lebih karena waktu yang makin tidak
memungkinkan untuk itu. Pada hari-hari liburku, Sabtu dan Minggu, aku
lebih memilih berada di rumah atau pergi bersama keluarga, sedangkan
kekasihku entah di mana. Beberapa kali, melalui telepon, kami masih
sempat mengatur kencan seperti dulu, di hari kerja, tapi dialah yang
membatalkannya karena harus menghadiri rapat penting yang mendadak di
kantornya.
Dan, tiga tahun kemudian kekasihku benar-benar dipercaya
sebagai salah seorang direktur di perusahaannya. Aku tahu dari undangan
syukuran yang dikirimkannya padaku. Aku betul-betul menyempatkan diri
untuk menghadirinya sekaligus ingin tahu sudah adakah lelaki yang
beruntung dapat mendampinginya. Usai acara syukuran kami sengaja pulang
belakangan untuk berbicara berdua. Ternyata dia masih sendiri seperti
dulu, kesendirian yang membuat hatiku mendadak merasa berdosa dan pedih
seketika.
"Apakah kau masih menyimpan kepompong cinta kita?" tanyaku.
"Ya," katanya. "Tapi, bayi kupu-kupu itu telah mati, karena terlalu lama menahan derita, menahan cinta yang tak sampai-sampai."
"Bukankah bayi itu kini telah tumbuh perkasa, menjadi wanita karier yang sukses?"
"Tidak. Aku bukan bayi kupu-kupu yang dulu. Kini aku adalah belalang dengan sayap-sayap perkasa yang mulai lapuk karena usia."
Aku
kembali merasa tertohok oleh kata-katanya, tapi aku tiba-tiba juga
merasa telah tua dan tidak patut lagi berimajinasi tentang cinta
dengannya, bagaimanapun manis dan indahnya. Aku hanya merasa menyesal,
kenapa dulu tidak cepat-cepat melamar perempuan yang begitu kukuh dengan
cintanya. Selanjutnya aku hanya merasa bodoh dan tidak bisa
berkata-kata lagi di depan keperkasaannya, sampai kekasihku beranjak
dari kursinya dan mengucapkan "selamat tinggal" tanpa secercah senyumpun
di bibirnya!
Jakarta , April 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar